Sabtu, 24 Januari 2009

Sejarah Sanggar Kaligrafi Al-Aqlam


Seni menulis indah huruf-huruf Arab atau yang lebih dikenal dengan dengan khat telah lama dikenal di Indonesia. Umurnya telah cukup tua, setua sejarah Islam di negeri ini. Aksara Arab selain digunakan untuk menulis naskah-naskah berbahasa Arab juga digunakan untuk menulis ayat-ayat suci al-Quran dan menulis buku-buku pelajaran agama juga berjaya untuk menyalin bahasa melayu yang disebut huruf Jawi atau Pegon (C. Israr, 1985: 137). Bukti-bukti lain tentang perkembangan awal kaligrafi Islam di nusantara ini dapat ditemukan pada makam-makam kuno (Hasan Muarif Ambari,1998).

Di Minangkabau bukti awal tentang perkembangan kaligrafi Islam sulit dilacak karena tidak tersedianya bukti-bukti tertulis tentang itu. Namun dapat diperkirakan tulisan Arab secara umum telah hadir semenjak masuknya Islam ke wilayah ini. Namun demikian dari beberapa literatur tentang Islam di Minangkabau dapat diduga (sementara) bahwa kaligrafi Islam telah berkembang semenjak masuk dan berkembangnya Islam di Ranah Minang ini walaupun hanya dalam bentuk yang sangat sederhana (Hamka, 1961:61).

Perkembangan kaligrafi Islam pada masa-masa awal dapat dilihat dari aktifitas para ulama mengajar berbagai ilmu agama di lembaga-lembaga pendidikan tradisional (surau) dan madrasah. Di surau dan madrasah sebagaimana lazimnya ulama (syeikh) yang mengajar ilmu-ilmu agama, dapat dipastikan mereka sekaligus mengajarkan tata cara menulis huruf Arab untuk mata pelajaran al-Quran, Bahasa Arab, Fiqh, Tauhid dan lain-lain. Pelajaran khat pada masa-masa awal ini masih sangat sederhana belum dijuruskan kepada bentuk-bentuk penghayatan keindahan sebagaimana sekarang. Meskipun demikian, alur goresan telah mempertimbangkan bentuk-bentuk aliran baku kaligrafi seperti gaya Naskhi dan Farisi (dengan ciri asal condong ke kanan). Ini terlihat dalam penulisan naskah-naskah (kitab-kitab) keagamaan, majalah-majalah Islam dan mushaf-mushaf al-Quran kuno. Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama yakni sampai awal abad XX

Lambatnya perkembangan seni kaligrafi Islam dan masih sangat sederhananya bentuk-bentuk anatomi huruf pada masa awal hingga awal abad XX tersebut disebabkan belum adanya buku-buku pelajaran yang memuat tentang kaidah-kaidah menulis khat secara terencana. Di Timur Tengah sendiri buku-buku pelajaran yang memuat tentang qawâ’id al-khat al-Araby, baru terbit awal abad XX. Sedangkan di Indonesia baru muncul pada pertengahan abad XX. Jadi dapat dipahami bahwa pada perkembangan awal, kaligrafi Islam di Minangkabau memiliki bentuk yang sangat sederhana.

Perkembangan kaligrafi Islam di Ranah Minang menemui momentumnya ketika dilangsungkannya sayembara kaligrafi Islam tahun 1983 pada saat penyelenggaraan MTQ nasional ke-13 di Padang. Pada ivent tersebut salah seorang kaligrafer Sumatera Barat yakni H. Darami Yunus, keluar sebagai pemenang pertama. Prestasi H. Darami Yunus pada sayembara kaligrafi Islam di Padang adalah prestasi keduanya, di mana pada MTQ nasional ke-12 di Banda Aceh tahun 1981, yang bersangkutan juga berhasil keluar sebagai juara pertama.

Gema sayembara kaligrafi Islam pada ivent MTQ ke-13 tersebut menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan kaligrafi Islam di Sumatera Barat ke arah yang lebih maju dan intensif pad masa-masa berikutnya. Semenjak itu dimulailah usaha terencana dan terorganisir pengembangan kaligrafi Islam. Seiring dengan itu berbagai macam buku pedoman kaligrafi yang berisikan kaidah-kaidah baku kaligrafi baik yang terbit di Timur Tengah maupun Indonesia mulai banyak digunakan dab dijadikan rujukan para calon kaligrafer daerah ini. Pihak lembaga pengembangan tilawatil Qur’an daerah ini pun merasa bahwa kaligrafi Islam sebagai salah satu warisan budaya Islam yang bernilai sakral perlu dikembangkan dan dilestarikan. Upaya pertama dilakukan adalah dengan memasukan kaligrafi sebagai salah satu cabang yang diperlombakan pada MTQ nasional tingkat Sumatera Barat. Pada penyelenggaraan MTQ nasional Tk. Sumatera Barat di Kabupaten Padang Pariaman tahun 1983 (setelah MTQ nasional ke-13), resmilah kaligrafi diperlombakan walaupun dengan jumlah peserta yang sangat minim karena belum semua daerah Tk. II memiliki peserta kaligrafi. Dilihat dari sudut ini, Ranah Minang merupakan daerah pertama yang mempelopori masuknya kaligrafi sebagai cabang yang diperlombakan pada MTQ. Untuk tingkat nasional, cabang kaligrafi baru diperlombakan pada MTQ nasional ke-14 di Bandar Lampung tahun 1988.

Dari tahun ke tahun penyelenggaraan musabaqah kaligrafi al-Quran (dalam MTQ dikenal dengan istilah “musabaqah khaththil quran”) terus mengalami perkembangan dan setiap kali penyelenggaraan MTQ, cabang kaligrafi tidak pernah absen diperlombakan. Semenjak MTQ di Kab. Padang Pariaman (1983) sampai MTQ Sumatera Barat di Kab. Sawahlunto Sijunjung tahun 1987, cabang kaligrafi diperlombakan hanya untuk kategori satu putra dan satu putri. Pada pelaksanaan MTQ Sumbar di Kab. Pasaman tahun 1989, cabang kaligrafi telah dikembangkan kepada tiga kategori, yakni penulisan naskah, hiasan mushaf dan kaligrafi dekorasi mengikuti ketentuan nasional. Pesertanya belum dipisah antara putra dan putri. Bahkan satu orang peserta dibenarkan mengikuti dua kategori lomba sekaligus.

Perkembangan yang lebih moderen dalam cabang kaligrafi baru mulai pada MTQ nasional ke-17 di Pekanbaru, tahun 1994, di mana untuk tiga kategori cabang lomba tersebut di atas peserta putra dan peserta putri telah dipisahkan. Dengan demikian jumlah peserta kaligrafi dalam satu kafilah sebanyak enam orang terdiri dari tiga peserta putra dan tiga peserta putri. Secara tidak langsung pelaksanaan musabaqah kaligrafi al-Quran di tingkat Prop. Sumatera Barat harus pula mengikuti ketentuan nasional tersebut.

Masuknya peserta putri sebagai bagian dari peserta kaligrafi telah memberikan angin segar bagi perkembangan kaligrafi secara umum baik di Indonesia maupun di Ssumatera Barat. Di sisi lain telah merombak tradisi perkembangan kaligrafi yang sebelumnya terasa agak diskriminatif terhadap peserta putri. Dengan demikian potensi pengembangan seni kaligrafi Islam sebagai bahagian integral dari budaya Islam akan semakin maju di masa mendatang. Kenyataan ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi pihak-pihak yang berkompeten dengan kaligrafi di daerah ini. Tantangan ini lebih terasa lagi bila dikaitkan dengan tidak adanya lembaga yang mewadahi pelatihan kaligrafi secara intensif di daerah ini.

Keberadaan sebuah lembaga pengembangan kaligrafi Islam di suatu daerah yang mayoritas masyarakatnya muslim, memiliki nilai strategis. Nilai startegis itu dapat dilihat dari beberapa segi antara lain, pertama, lembaga ini sangat diperlukan dalam upaya memacu perkembangan dan pelestarian seni kaligrafi Islam sebagai seni Islam yang agung. Kedua, keberadaan lembaga pengembangan kaligrafi Islam dapat menciptakan nilai tambah bagi keberhasilan pembangunan. Ketiga, dapat menciptakan sumber daya manusia handal yang bermuara kepada kemampuan menghasilkan barang dan jasa untuk jangka waktu tertentu dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Keempat, bahasa dan tulisan Arab memiliki sifat sakral dalam kehidupan umat Islam (terutama di Sumatera Barat). Karena sifatnya yang sakral itu mempelajari, memahami dan mengamalkan seluruh ajaran yang terkandung di dalam al-Quran dan sunnah Nabi SAW merupakan suatu keharusan. Kelima, masa sekarang ini telah terjadi pergeseran nilai di mana masyarakat ingin mendapatkan sesuatu yang lebih menarik dan mampu memberikan kesejukan hidup mereka, maka seni kaligrafi Islam diharapkan dapat mengisi kebutuhan tersebut.

Khusus untuk daerah Sumatera Barat, sebelum tahun 1989, lembaga pengembangan kaligrafi boleh dikatakan belum ada sama sekali. Ini disebabkan oleh berbagai faktor penghambat antara lain kurangnya perhatian masyarakat terhadap urgensi lembaga ini dalam kehidupan keagamaan dan langkanya sumber daya manusia yang berstatus sebagai kaligrafer. Kalaupun ada hanya beberapa orag saja seperti H. Darami Yunus (Padang), H. Bakhtiar Rajab (Padang Panjang), HMS. Dt. Tan Kabasaran (Bukittinggi), C. Israr dan M. Ruslan (Payakumbuh). Upaya mereka untuk memasyarakatkan kaligrafi Islam di tengah-tengah masyarakat ternyata belum seperti yang diharapkan dan terkesan jalan sendiri-sendiri. Kalaupun jalur pengembangan seni kaligrafi Islam masa itu ada, hanya terbatas kepada jalur formal di bangku kuliah semata di mana jam pelajarannya hanya 2 jam seminggu. Alokasi waktu yang dua jam seminggu itu memang tidak mencukupi untuk mempelajari kaligrafi secara keseluruhan. Akibatnya harapan untuk melahirkan generasi kaligrafi handal terbentur. Jadilah kaligrafi Islam di Sumatera Barat mengalami kemunduran.

Kekhawatiran akan kemunduran perkembangan kaligrafi Islam di Sumatera Barat, memang sangat beralasan bila dikaitkan dengan faktor tersebut di atas. Ini lebih terasa lagi bila dikaitkan dengan kenyataan historis bahwa daerah ini adalah daerah agamis, gudangnya para ulama dan pelopor pembaharuan Islam di nusantara (Indonesia). Kepeloporan daerah ini di bidang keislaman ditopang oleh lahirnya karya-karya monumental dalam bentuk buku, majalah-majalah dan koran-koran yang umumnya ditulis dengan bahasa Arab Melayu. Pemakaian tulisan Arab Melayu ini secara tidak langsung telah memberikan warna tersendiri bagi perkembangan seni kaligrafi Islam di Ranah Minang dan menjadi tonggak sejarah awal perkembangan kaligrafi Islam.

Berdasarkan realitas historis itu, atas prakarsa beberapa orang kaligrafer muda Sumatera Barat baik yang berstatus sebagai dosen maupun mahasiswa fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang dilakukanlah musyawarah untuk membentuk sebuah wadah pengembangan kaligrafi Islam secara terpadu dalam bentuk Sanggar Kaligrafi Islam. Gagasan ini pada hakekatnya merupakan implementasi dari program Lembaga Kebudayaan Islam (LKI) yang sudah didirikan jauh sebelum itu (tahun 1986). LKI dipimpin oleh Drs. Irhash A. Shamad yang adalah salah seorang dosen fakultas Adab sekaligus kaligrafer binaan langsung H. Darami Yunus yang beberapa kali menjuarai lomba kaligrafi Islam di Sumatera Barat. Tekat untuk mengembangkan seni dan kaligrafi Islam untuk kalangan muda dan mahasiswa telah terpatri dalam dirinya sejak awal. Tekad ini kemudian diwujudkan ke dalam program-program LKI dalam bentuk pembinaan seni Islam, seperti pembunaan seni kaligrafi Islam,teater Islam, seni tilawah, seni ukir, seni sastra, dan lain-lain. Beberapa bidang kegiatan LKI tersebut akhirnya tidak berjalan sebagaimana mestinya disebabkan berbagai faktor terutama SDM dan dana pendukungnya. Yang tetap bertahan adalah pembinaan seni kaligrafi Islam. Ini disebabkan karena di samping memiliki SDM yang cukup juga memiliki cadangan dana operasional yang berasal dari sumbangan anggota, peserta kursus dan para simpatisan kaligrafi. Di sisi lain eksistensi seni kaligrafi Islam memiliki prospek cerah bila ditekuni secara serius baik untuk pribadi yang menekuninya maupun secara kelembagaan.

Melihat kecenderungan generasi muda untuk mendalami seni kaligrafi Islam yang semakin meningkat, maka pada tanggal 26 Agustus 1989, dalam suatu rapat yang dipimpin langsung oleh Drs. Irhash A. Shamad dengan dihadiri beberapa orang kaligrafer muda berbakat dan simpatisan kaligrafi (yang hadir antara lain: Alirman Kampai, Suharmen, Syamsurizal, Amiruddin, Muhapril Musri, Yelia Erawati, Azizah Fitrah, dan lain-lain) menghasilkan sebuah keputusan bahwa perlu didirikan sanggar kaligrafi Islam yang diberi nama “Sanggar Kaligrafi Islam al-Aqlam”.

Pemakaian nama al-Aqlam (beberapa buah pena) ini memiliki latar belakang historis, di mana pada masa awal pertumbuhannya tulisan Arab terdiri dari enam macam khat yang disebut al-aqlam al-sittah. Keenam macam tulisan itu adalah Sulus, Naskhi, Muhaqqaq, Rayhani, Riqa’, dan Tawqi’ . Dengan demikian resmilah sebuah sanggar kaligrafi berdiri di Sumatera Barat dan dimulailah pembinaan kaligrafi Islam secara terencana.
Keberadaan sanggar kaligrafi ini diharapkan membawa angin baru bagi upaya pengembangan kaligrafi secara terpadu dan berkelanjutan. Al-Aqlam berupaya meretas “images” yang mendikotomi antara mazhab kaligrafi Islam (aliran tradisional/murni) dengan mazhab lukisan kaligrafi (kaligrafi yang dilukis di kanvas bebas dari kaidah kaligrafi) yang berkembang di Indonesia dan berupaya memadukan gerak langkah perkembangan dua kutub mazhab tersebut. Secara berangsur-angsur dimulailah gerakan pembinaan dan pengembangan kaligrafi secara terencana dengan membuka kursus angkatan I. Dengan membebaskan peserta dari uang pendaftaran dan uang kursus diharapkan minat generasi muda untuk mendalami kaligrafi semakin meningkat. Berkat kerja keras dan upaya yang tidak mengenal lelah dari pengurus sanggar, peserta yang dapat direkrut angkatan I ini berjumlah 25 orang. Mereka berasal dari berbagai fakultas di lingkungan IAIN Imam Bonjol Padang dan siswa madrasah. Materi yang diajarkan (sebagai kurkulum) meliputi seluruh jenis khat, teknik pengolahan warna dan penerapan kaligrafi ke berbagai media lukis. Demikianlah seterusnya dari tahun ke tahun jumlah peserta yang berminat mendalami kaligrafi melalui pelatihan terstruktur yang diselenggarakan sanggar kaligrafi al-Aqlam menunjukan grafik perkembangan yang semakin meningkat. Untuk setiap angkatan, al-Aqlam mengalokasikan waktu selama empat bulan pelatihan. Dan seluruh peserta diwajibkan menyelesaikan materi yang diberikan. Namun tidak semua peserta yang dapat meneyelesaikan materi kaligrafi ini karena sebahgian mereka gagal di tengah jalan akibat berbagai faktor penyebab.

Peningkatan jumlah peserta pelatihan ini dapat dipahami, mengingat perkembangan kaligrafi Islam di Indonesia semakin semarak pula. Ini terbukti dengan banyaknya kegiatan yang bernuansa kaligrafi seperti pameran, sayembara, ceramah, diskusi, dan lain-lain yang dilakukan dalam berbagai kesempatan seperti peringatan hari-hari besar Islam dan nasional baik berskala regional maupun nasional. Apalagi bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa kaligrafi telah masuk dalam salah satu materi yang diperlombakan pada MTQ secara berjenjang mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional dengan kategori yang bervariasi penulisan naskah, hiasan mushaf dan kaligrafi dekorasi). Secara tidak langsung memberikan motivasi bagi generasi muda berbakat untuk maju bersama kaligrafi. Paling tidak calon kaligrafer muda bersaing untuk dapat direkrut sebagai peserta kaligrafi mewakili daerah tertentu. Maklum jika terpilih sebagai peserta mewakili daerah tertentu akan mendapat berbagai fasilitas menggiurkan dari pemerintah daerah walaupun dari segi keadilan, peserta kaligrafi sering menjadi objek “perasan” bagi beberapa oknum penyelenggara. Namun demikian kesempatan untuk dapat direkrut sebagai peserta Kaligrafi pada MTQ selalu ditunggu-tunggu oleh mereka yang punya motivasi tinggi untuk ikut sebagai peserta MTQ. Bagi sebahagian besar kaligrafer muda yang ‘nota bene’ adalah “abege” belum merasa terkorbankan akibat ulah perbuatan ‘kotor’ oknum penyelenggara tersebut. Bagi mereka yang penting bisa ikut dan dapat fasilitas gratis. Bila dapat juara nama menjadi terhormat walaupun hadiahnya jauh dari standar kepatutan. Walaupun ada satu atau dua orang yang merasa dirugikan dan dicurangi, namun hal itu belum menjadi keprihatinan kolektif. Kenapa demikian? karena belum adanya iven kaligrafi tertentu yang dapat menyaingi gema dan fasilitas yang diberikan selain yang mereka dapatkan pada kegiatan MTQ.

Berdirinya Sanggar kaligrafi al-Aqlam, di samping bertujuan untuk mengembangkan seni kaligrafi Islam dengan segenap aspek pendukungnya juga berupaya untuk mengangkat harkat dan martabat para kaligrafer yang menjadi objek “perasan” pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan menempatkan mereka pada kedudukan terhormat dan posisi sepantasnya sebagai seorang kaligrafer. Secara historis, pada masa klasik (Islam), kaligrafer mendapat kedudukan terhormat di mata para khalifah, sulthan dan amir. Para Khalifah dan sulthan bertindak sebagai pelindung para kaligrafer sehingga kehidupan para seniman kaligrafer menjadi makmur. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa kaligrafer akan menjadi sejahtera dan mendapat kedudukan terhormat, bila dihormati dan dihargai oleh kalangannya sendiri. Posisi inilah yang akan diupayakan oleh al-Aqlam dengan berbagai macam program unggulannya. Pengembangan kaligrafi yang ditawarkan kepada masyarakat Sumatera Barat juga berkaitan dengan upaya bagaiamana agar sisi kehidupan para kaligrafer sama terhormatnya dengan kedudukan kaligrafi itu sendiri dalam dinamika kehidupan umat yang multi kompleks. Kita umat Islam (umumnya) dan para pencinta kaligrafi khususnya tidak menginginkan bahwa suatu karya kaligrafi yang bernilai tinggi dan dibuat dengan susah payah dianggap sebagai produk murahan sehingga dihargai dengan kata-kata terima kasih dan kalimat lillahi ta’ala . Oleh karenanya, pengurus sanggar kaligrafi al-Aqlam tengah berupaya membuat ivent kaligrafi yang memiliki nilai jual tinggi dan bergengsi dari kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya seperti MTQ yang diharapkan dapat mengangkat citra kaligrafi Islam dan kaligrafernya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Upaya ini melibatkan beberapa elemen masyarakat yang peduli dengan seni kaligrafi dan diharapkan mereka dapat menjadi pendorong utama bagi upaya pengembangan kaligrafi Islam di tengah arus perkembangan budaya yang semakin kompleks dan kehidupan yang multikultural.


Selengkapnya...